Gambar dicomot dari sini |
Kira-kira 4 tahun yang lalu waktu aku masih duduk manis di kelas II MTsN (what???4 tahun yang lalu??banyak kali kok kau ambil untung tipu umur, No???) aku sempat menduduki posisi yang cukup bergengsi di kelas. Tunggu dulu, kalian jangan pikir aku termasuk jajaran anak pintar rajin belajar dan menduduki ranking 1, 2 atau 3, simpan harapan kalian itu dikantong baik-baik ya. Nah, posisi yang bergengsi di kelas itu adalah Ketua Keamanan. Iya, Ketua keamanan dan tanpa anggota pula. Jadi aku menduduki jabatan tersebut sendirian dan punya hak untuk mengelola ketentraman kelas langsung peer to peer, langsung mengamankan tiap-tiap siswa berkoordinasi dengan ketua kelas tentunya. Untuk tugas elit ini, aku dibekali rol kayu panjang, dan kutulis namaku tiga kali di rol tersebut sebagai tanda kebanggaan bahwasanya aku berkuasa atas rol tersebut daripada siswa-siswa yang lain. Ini jabatan elit, dan sebagai elit di kelas, tentu aku tambah sombong. Kurasa semua temanku berdoa supaya Tuhan memasukkan aku kedalam neraka pada saat itu.
Mekanisme pemilihan hingga akhirnya aku menjadi ketua keamanan adalah mekanisme pemilihan langsung dari wali kelas, Pak Nur Alam nama wali kelasku waktu itu, yang menunjuk salah satu murid terbaiknya untuk mengisi jabatan penting tersebut. Aku dipilih oleh wali kelas bukan karena aku adalah orang yang selalu menjaga ketertiban dan keamanan layaknya hansip atau satpam. Bukan pula karena aku adalah orang yang bersemangat untuk mengamalkan Undang-Undang Anti Terorisme, karena setauku pada saat itu undang-undang itu belum ada. Bukan pula aku termasuk orang yang nge-fan dengan Detasemen 88 anti teror, 88 yang aku kenal saat itu hanyalah merek sirup produksi kota Bireun saja.
Aku dipilih karena aku adalah salah satu siswa yang paling ribut di kelas. Tapi sumpah, aku tidak pernah memimpin keributan sehingga sampai menduduki kantor kepala sekolah. Aku bisa dilibas kalo berani melakukan itu. Bapak wali kelas memilihku, siswa yang paling ribut untuk menjadi ketua keamanan tanpa anggota adalah agar keributan bisa teredam sedikit mengingat tanggung jawab berat yang kupikul. Hingga sampai jabatan kuserahkan pada successor-ku kelas tetap dalam keadaan ribut, dan kadang aku yang seharusnya menentramkan kelas malah menambah semarak, mengalahkan semarak dangdut di lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Mungkin itu adalah keputusan salah terbesar yang dirasakan wali kelasku. Seharusnya ada orang lain yang lebih pantas mengisi
Cerita menjadi petugas kemanan ini entah kenapa selalu kuingat. Well, setidaknya aku pernah menduduki jabatan penting di kelas. Hahahaha. Terus sekarang mau jabatan juga gitu?
N E H I.
Kututup catatan ini dengan sajak
"Ada dua hati, tengah berada di jalan, maka keduanya menjadi Hati-Hati Di Jalan"
The End.
0 komentar:
Posting Komentar