• Bukan catatan pra-sejarah!

    Lingkar otak kelas menengah ngehe.


    Disebuah Majelis antah berantah, sekumpulan kelas menengah ngehe tengah berkumpul. Baris terdepan diisi oleh mereka yang ingin kelihatan jika nanti foto diambil secara candid. 2 shaf berikutnya duduk mereka yang tidak begitu penting kedudukannya namun merasa kehadiran mereka seakan dibutuhkan. 3 baris berikutnya hingga kebelakang hanyalah mereka yang terpaksa bergabung dan hanya sibuk dengan telepon pintar mereka masing masing.

    "Dear kamu...ah tidak, kita, kelas menengah ngehe yang terserak di muka bumi.." ujar si pemberi materi.

    "Aku merasakan kita, yang berkulit putih berseri adalah bangsa yang tinggi. Maka aku menyarankan agar mereka yang berwarna dipisahkan dari kita. Mereka imbisil, mereka jorok, mereka itu sam..."

    Tiba-tiba seseorang dari barisan kedua berkata lantang.

    "Maaf pemateri, kita ini sama. Tidak berbeda. Tidak ada yang membedakan warna kulit kita. Tidak boleh dibedakan!" Teriaknya.

    "Setuju!". Para kelas menengah ngehe lainnya mengamini.

    Dibarisan belakang terlihat beberapa orang sibuk mengetuk-ngetuk jari mereka di telepon pintarnya masing-masing. Ini bahan update-an pertama mereka di sosial media.

    "Okelah" ujar si pemateri. "Maka aku akan melanjutkan materi pencitraan lain." Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan.

    "Bangsa kita adalah bangsa yang hebat. Maka sudah sepantasnya kita hidup sebagai bangsa nomor satu. Bangsa yang harus diutamakan!" Ujarnya berapi api. Terlihat beberapa orang di barisan depan mengangguk-angguk takzim. Sementara dibarisan belakang,yang mengangguk justru karena mengantuk. Telpon pintar mereka kehabisan baterai dan lupa membawa power bank.

    "Maka, adalah kita harus berdikari. Berdiri sendiri. Kita tidak perlu bangsa lain. Saatnya kita mengusir mereka dari tanah kita ini, mereka tak layak hidup disini. Jika mereka menolak, kita berkewajiban menum..."

    Lagi-lagi si pemateri terhenti bicara ketika suara lain mendadak muncul dari tengah tengah majelis.

    "Tidak!. Pemateri, anda sudah kelewatan!. Kita harus berdampingan, setiap bangsa harus seiring sejalan bergandengan tangan. Kita bersama membangun negeri ini, bukan begitu?" Ujarnya,dan mengarahkan pertanyaan kepada majelis.

    "Setuju!" Kembali koor dari majelis terdengar.

    Lalu pemateri menarik nafas, sepertinya dua materinya mengena. Ia berpikir sejenak, lalu kemudian tersenyum. Ia berpikir membawa isu lain yang mungkin akan ditentang pula. Lalu ia berbicara.

    "Baiklah, bangsa bangsa semua sama". Lalu ia melanjutkan.

    "Berbicara tentang tokoh yang kita cintai, ternyata di suatu daerah ada yang mencacinya. Ada pula yang menyatakan kebencian. Ada yang terang-terangan, ada pula yang menyuarakan dalam bahasa satir. Mereka mengeluarkan bahasa yang terkadang tak senonoh. Tak bermoral, tak lagi kenal etika!" Lantang si pemateri berkata.

    Pemateri itu diam, ia menunggu kalau kalau ada yang kembali menyanggah perkataannya.

    Sayup-sayup ia mendengar bisikan.

    "Ya, namanya juga bicara kan boleh2 saja,bebas" ujar seseorang pada yang lain. Berbisik.

    "Ya kalau diejek kan kita diajarin untuk tidak membalas,toh?" Bisik disudut lain.

    "Apaan sih bahasannya ini, itu kan urusan pribadi banget. Kalo tokohnya masih hidup juga, beliau pasti adem ayem, kenapa kita harus sewot?ihhh..." bisikan panjang disudut lain pun muncul.

    Dan bisikan demi bisikan demi bisikan pun bermunculan. Kini majelis riuh dengan bisik membisik.

    Si pemateri menghela nafas. Ia merasa tak ada lagi yang harus disampaikan. Ia berjalan gontai.

    Majelis kelas menengah ngehe tetap riuh berbisik. Hanya barisan paling belakang yang tetap sibuk dengan telepon pintar mereka. Status terakhir mereka di sosial media adalah tentang materi terakhir. Juga riuh dengan komentar maya. Salah satu dari.mereka tengah membalas komentar ke dua ribu empat ratus tujuh.

    Tak ada yang memperhatikan kemana si pemateri pergi. Majelis kelas menengah ngehe tenggelam dalam riuh.


    1 komentar:

     

    About