• Bukan catatan pra-sejarah!

    Kenangan Tidak Mati dan Tidak Berhenti di Lima Belas


    Foto diambil dari koleksi pribadi
    Tentang Sekber,

    Awal perkuliahan di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, seorang teman mengajak untuk mampir dan hangout di sekretariat bersama (sekber) himpunan. Namanya aja "bersama" yang artinya ada 3 himpunan mahasiswa ngumpul disitu, Manajemen, Akuntansi dan Studi Pembangunan. Faktanya, cuma mahasiswa manajemen yang ngeramein tempat itu. Selanjutnya, sekber jadi tongkrongan sebelum masuk kelas, keluar kelas, sebelum dan sesudah ngopi,pas dosen ga datang, pas males masuk, pas bengong ga tau kemana. Sekber adalah terminal. Padahal, saat itu, jadi pengurus himpunan juga enggak. Aku tidak mengingat jelas tanggal, hari, tapi aku mengingat bahwa di sekber itu aku berinteraksi dengan dua orang, sahabat, yang kelak kenangannya akan tinggal, bahkan setelah lima belas tahun terputus kontak. Ridha Fadhia dan Tessa Cominac.
    ....

    Tentang Tessa Cominac,

    Panggilannya Echa. Pepno dan Echa adalah bentuk nyata dari Tom and Jerry. Hampir di setiap interaksi kami saling membuli satu sama lain. Karena suara kami sama-sama tinggi, maka jika sudah saling membuli, suara kami mungkin sampai ke bulan. Tapi dibalik itu, Echa adalah sahabat yang sangat baik. Pernah, suatu ketika, dia dengan arifnya menasehati bahwa aku sebenarnya pintar, tapi hobi buang-buang diri, kalau pinternya di seriusin, itu bakal jadi kunci sukses kedepannya. Tentu, aku memandang bingung ke arahnya, jarang Echa bicara serius kepadaku. Aku tidak pernah menanggapi omongannya itu, sampai beberapa saat kedepan, saat dimana kami tidak bisa berinteraksi lagi. Beberapa kali perbulian meningkat levelnya, dan terkadang emosi terlibat. Marah, tapi tidak pernah lama. Semua akan baik-baik saja dalam hitungan jam. 
    Hingga...
    Desember 2004, beberapa hari menjelang kedatangan gelombang besar. Aku dan Echa terlibat percakapan yang bertensi tinggi. Tapi kali ini berbeda, Echa benar-benar marah. Aku juga meladeninya. Percakapan penuh emosi yang aku tidak ingat karena apa. Saat itu, kami saling menuding, saling menunjuk, saling menuduh. Echa marah besar, aku apalagi. Dalam kemarahan, bahasa yang kami pergunakan sudah penuh dengan makian, cacian dan entahlah. Aku meninggalkannya dalam keadaan marah besar, dan berniat untuk tidak menyapanya dalam waktu lama. Selama mungkin. Aku tidak pernah tau, bahwa kenyataan melebihi ekspektasiku sendiri. Aku, tidak bisa menyapanya lagi, selama-lamanya. Echa pergi di 26 Desember 2004 ditelan gelombang besar Tsunami. Aku, menyesal, sampai hari ini. 
    ...

    Tentang Ridha Fadhia,

    Aku memanggilnya Nanda, karena memang panggilannya itu. Ga mungkin aku memanggilnya Burhan, kan? Nanda selalu menyapa dengan khas, dan Nanda selalu menjadi objek isengnya Pepno. Hahaha. Ada saja keisengan yang kulakukan, yang membuat dia manyun, tapi sering diakhiri dengan tertawa bersama. Seiring waktu, interaksi kami semakin intens. Sering kali aku menggodanya, tapi saat itu, tidak berniat serius. Pernah suatu ketika, ketika dia tau aku hobi menulis dan mempunyai buku berisi kumpulan tulisan yang kubawa kemanapun, dia bilang dia ingin membacanya. Aku tanpa beban memberikannya, bahkan meminjamkannya untuk beberapa waktu. Dia mengembalikannya beberapa hari kemudian. Aku tidak tau bahwa diantara banyaknya tulisanku, dia menyelipkan satu catatan. Hingga suatu ketika, aku membacanya, dan menanyakan siapa yang menulis rapi seperti itu. Tidak ada satupun dari sekian banyak manusia yang bisa mengakses catatanku itu yang mengaku. Termasuk Nanda pada saat itu. Aku kemudian mengabaikan catatan itu, tidak mau ambil pusing.

    Kami dekat, cukul dekat, beberapa kali terlihat sedang duduk berdua, akhirnya jadi bahan gosip. Namun, kami tidak pernah jadian. Aku berpikir saat itu, kami sangat cocok jadi sahabat, dan pada saat itu juga, jujur, aku tengah mendekati perempuan lain. Aku, bahkan menceritakan itu ke Nanda. Dia menanggapi, memberi saran, bahkan menyemangati. Tidak terlihat ada cemburu disana, atau apapun, maka kemudian aku merasa bahwa, ya, kita berdua memang seharusnya bersahabat hingga akhir masa. Tidak pernah sekalipun kami berselisih, dan tidak ada satupun sepanjang ingatanku, kami mengalami kondisi yang tidak nyaman satu sama lain. Kami menghabiskan waktu, sebagai sahabat, dengan sangat menyenangkan, menurutku. Akan tetapi...

    Nanda, pergi, bersama Echa, di 26 Desember 2004, dijemput oleh Tuhan yang Maha Besar.

    Ketika menjumpai Ibunya Nanda setelah bencana Tsunami, seorang teman akan menyalaminya, dan tetiba ibunya berkata

    "Ini ya yang namanya Pepno?"

    Deg, dari sekian nama teman yang mungkin disebutkan, ibunya menyebut namaku. Kemudian ibunya bercerita, bahwa Nanda sering menyebutkan nama itu dalam ceritanya. Dan, ibunya berpikir, bahwa Pepno ini adalah teman dekat, mungkin pacar, anaknya.

    Aku jujur, speechless pada saat itu. Aku tidak tau bahwa Nanda bercerita banyak tentangku pada ibunya. Kami dekat, tapi Nanda tidak pernah bercerita soal itu kepadaku. Dan aku sendiri, tidak pernah sadar bahwa, Nanda mempunyai sedikit harapan lebih kepadaku. Mungkin, karena aku kurang peka, atau pada dasarnya aku yang tidak mengerti, hingga...

    Beberapa teman mengkonfirmasi mengenai catatan yang ada di bukuku. Bahwa itu, adalah, catatan Nanda. Catatan itu berisi ungkapan perasaan, yang tidak bisa disampaikan secara langsung. Bahwa penulisnya mempunyai rasa yang berlebih, tapi, tidak ingin memaksa. Tidak ada paksaan untuk diperlakukan spesial, tidak ada paksaan untuk menjadi lebih dari apa yang ada saat itu. Yang diinginkan hanya satu, tetap bisa melalui hari bersama-sama, tanpa harus memikirkan status bersama sebagai apa. 

    Jika Nanda dihadapanku saat ini, aku akan memeluknya dan bilang, bahwa dia berhak punya rasa seluas dunia, dan meski tidak berbalas, dia tidak pernah salah. Tidak ada yang salah dengan rasa. Dan ya, aku mungkin akan memeluknya, lama, dan mengabulkan apa yang diinginkannya di catatan itu.
    ....

    Tentang ini, butuh belasan tahun untuk dituliskan kembali. Ada banyak lagi yang bisa dituliskan, tapi, aku mengakhirinya disini. Pada kenangan yang tidak akan pernah mati dan tidak berhenti di Lima Belas.

    Allahumma Firghlahuma, Warhamhuma, Wa'afihima, Wa'fuanhuma...




    1 komentar:

    1. Nggak boleh peluk2 sembarangan eeeaaa anak orang buhan mahram 😝

      BalasHapus

     

    About