• Bukan catatan pra-sejarah!

    Catatan setengah absurd tentang asumsi


    Pertama, ini catatan mungkin absurd. Kedua, catatan ini males belum diedit.

    Kita mulai aja ya? 1-2-3 Dor! (#Ter-diary, yang suka isi diary waktu SD pasti ngerti)

    "Jon, kau ngapain temenan ama anak itu?" Ujar seseorang pada temannya yang dipanggil Jon.

    "Kenapa rupanya, Jon?" Ujar si Jon kepada yang bertanya yang ternyata dipanggil Jon juga. (Ini penulis kok gak kreatif bener sih? Dari sekian banyak nama gitu loh...cks!)

    "Jon, dia kan anak kampung Blepblepblep, kau tau lah cemana orang dari kampung tu. Bangsat-bangsat orang itu, Jon". papar si Jon yang bertanya dipermulaan tadi. 

    "Ah Jon, kau itu cepat kali menyimpulkan. Gak semua orang kampung Blepblepblep gitu lah." Ujar si Jon yang kedua (Ok, this is getting awkward, two Jon's in a dialogue...*sigh* )

    Demikian percakapan singkat dari dua orang Jon yang tidak diketahui berasal dari mana. Jelas bukan nama sebenarnya. Percakapan yang seperti ini, jika kita ingat-ingat dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya, sering terjadi dan tentu tidak hanya terjadi di kota-kota besar. Malahan percakapan seperti diatas itu mungkin paling sering terjadi di tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga, gang senggol, mungkin hinggap di arisan ibu-ibu kompleks, warung kopi bapak-bapak yang rerata perutnya buncit dan beragam tempat lainnya. Kawasan dimana warga akar rumput dan menengah kesamping tinggal berdampingan meski kadang tidak satu pelaminan. 

    Entah bagaimana ceritanya, sering, mayoritas kita hidup dengan asumsi. Setauku, bla bla bla dengan asumsi itu kerjaannya anak ekonomi, semua-semua berdasarkan asumsi. "Peningkatan Investasi dalam negeri dengan asumsi harga minyak tidak naik sampai ke bulan" atau "Peningkatan nilai produksi dengan asumsi mesin tidak dipretelin karyawan dan dijualin satu persatu". Kaya ga punya kepribadian aja anak ekonomi itu kan ya?, asumsi mulu. Etapi apa ada hubungannya asumsi anak ekonomi dengan asumsi di artikel ini?. Wah aku pun kurang tau pasti, nanti kita liat kemana arah dari tema asumsi ini berhembus ya?.

    Hidup dengan asumsi ini sebenarnya bisa menyebabkan kita menerapkan standar ganda dalam kehidupan. Bukan ganda campuran tapi ya. Standar ganda ini kalau orang melayu bilang, "bibir dan hati berbedza". Munafik? Mungkin, tapi aku gak bilang loh yaaaa.....

    Bicara soal asal muasal misalnya, kita sering kali berasumsi soal ini. Biasanya daerah asal kita selalu lebih baik daripada daerah lain. Kampung ayahku itu di Aceh Besar. Nah, aku pernah dengar selentingan ucapan oknum orang Aceh Besar, "Blah deh gunong cit hana pah" yang artinya kira-kira (yang tinggal) disebelah sana gunung (maksudnya dibagian lain gunung) itu adalah orang-orang yang tidak pas. Tidak pas bagaimana? Tidak jelas. Yang pasti mereka tidak sedang membicarakan Pertamina, karena katanya Pertamina itu Pasti Pas. Sebagai referensi, gunung yang dibicarakan ini adalah dua gunung di perbatasan Aceh Besar, Seulawah di Timur dan Geurutee di Barat. Jadi selentingan definisi kabur itu adalah mengisyaratkan bahwasanya cuma orang sebelah sini gunung yang pas. Ya kek mana gak pas, orang mungkin yang ngomong itu gak pernah kemana-mana, disitu-situ aja. Mungkin pas dia sedang jemur belimbing wuluh untuk dibikin asam sunti dia dengar pembicaraan Nyak-Nyak yang sedang kunyah sirih di rinyeun rumoh, berkaitan sengketa pupuk NPK subsidi pemerintah yang diperebutkan dengan orang dari sebelah sana gunung. Dia dengarnya sepintas, karena pas dia nguping, ketahuan Nyak-Nyak itu dan dia pun dilepeh sirih. Dari dengar-dengar yang cuma sepintas itu dia berasumsi bahwa orang sebelah sana gunung gak pas. itu pun sebelah timur atau barat masih belum jelas, dan karena itu dia pukul rata saja. "Hai, pokok jih, Blah deh gunong cit hana pah". 

    Apa cuma orang Aceh Besar? Nah, oknum orang Pidie bilang justru orang yang sebelah sana gunung (dari sisi sebelah sana orang aceh besar, berarti orang sebelah sini, red) (kok puyeng bacanya ya?) yang hana pah. Oknum di Dataran Tinggi bilang yang didataran rendah gak pas, yang didataran rendah pun samimawon kertoharjo kalo kata orang luar pulau. Nah, kalo orang luar pulau yang tetiba nimbrung, oknum-oknum yang berseteru tadi mendadak kompak, bilang orang luar pulau yang gak pas. Jadi aneh juga, ini entah siapa juga yang gak pas, sih?

    Iki Piye Iki loh??   

    Belom selesai soal asumsi tempat tinggal, kadang asumsi muncul dengan cara yang berbedza. Berawal dari canda-canda kecil. Ni sering nih di acara "orang jual obat versi televisi" atau sering disebut oleh mereka-mereka yang uang jajannya lebih dari Rp. 50 ribu sehari dengan Standup Comedy. Iya, mereka berdiri, terus melucu. Kadang ada yang lucu, lebih sering jatuhnya kayak orang jual obat. Lucu tidak, garing sih iya. Entah juga kalo kriyuk-kriyuk enak juga. Ini seringnya malah enggak.

    Di Standup Comedy itu para Comic (katanya, sebutan untuk orang yang jual obat melucu sambil berdiri di panggung) sering melempar candaan berkaitan dengan suku, bangsa, bahasa dan macam-macam lagi. Misalnya orang Timur itu yang ngomongnya cepat, SatuDuaTigaaaa dalam sekali tarikan nafas misalnya. Atau juga katanya yang mereka itu kencang-kencang larinya waktu main sepakbola karena orang timur itu latihannya, katanya loh ya, kejar-kejar babi hutan, terus pas udah deket babinya di tackling.  Ada saja pokoknya, yang dijawa begini, yang sulawesi itu begitu, yang papua begono, yang bali begeneh. Awalnya dari candaan, kemudian candaan-candaan ini jadi Stereotype. ini bukan peralatan yang buat mutar kaset Denpasar Moon nya Maribeth ya. Itu Tape Stereo. Jadi Stereotype ini artinya kurang lebih kita udah beranggapan, tapi mungkin belom kita bilang. Dalam kepala kita misalnya, kalo berita bahas orang Ambon kita teringatnya ke preman. Kalo bicara soal orang Jawa, kita teringatnya transmigrasi, dan lain-lain. Ini mungkin gak keluar dari mulut, cuma main-main di otak kita aja. Kalaupun misal terngomong, gak sengaja, pembelaan kita itu "Becanda aja kali, why so serious?". Gitu.

    Nah masalahnya kalo udah sering, dan kadang-kadang pembicaraan lagi serius-seriusnya mana lah lagi tergolong becandaan. Kita udah beranggapan, dan pada akhirnya kita berasumsi. Alhasil, terpecah-pecahlah kita, ya kayak sekarang ini. Loh kayak sekarang ini ? masa sih? kan kita bersatu padu, tolong menolong dan tenggang rasa sesuai pengamalan dari sila-sila Pancasila?. Ya, gak tau sih, tapi tanyain deh ama diri sendiri apa kita benar-benar bersatu, atau kita sebenarnya adalah ego-ego individu yang lip service doang kalo bicarain kata "bersatu". Soalnya kita lebih suka teriak-teriak yang jauh-jauh daripada yang dekat-dekat. Kek mana mau bersatu kalau sama tetangga saja kadang kita suka tidak padu?

    Kenapa sebenarnya kita ini ? Ya karena itu tadi, kita hidup dengan asumsi terus sih. Kita tuh paling cepet ngeshare meme comic yang tulisannya Don't Judge a Book By Its Cover. Masih mending kalo kita tau artinya itu apa, kadang ada yang ditanya apa artinya, terus dijawab "Jangan menuduh buku bahwa dia itu koper". Ini kan ngawurnya level Maha. Nah kadang udah lah gak ngerti artinya, terus gak tau juga pemahamannya, tapi tetep di share. Muncullah di timeline orang-orang. Di Like oleh banyak orang. Udah gitu aja? Iya gitu aja, paling jaoh mungkin di komentarin. Ya gak juga kemudian bisa di convert jadi payung cantik atau gelas duralex kan ya?

    Iya, asumsi itu bahkan bisa hidup dalam ketidaktahuan. Dan ini sangat-sangat berbahaya sebenarnya. Udahlah gak ngerti, gak paham, ambil kesimpulan sepihak, berasumsi pula kemudian. Kadang pula ada yang kurang gizi informasi, atau informasi yang didapat sama sekali tak punya nilai gizi selain opini-opini si A, B, M, dan seterusnya, tidak ada sanad yang jelas tentang informasi tersebut, eh malah diterima mentah-mentah. Ini lucu, soalnya ini zaman internet. Kita ketik sesuatu di mesin pencari a.k.a search engine langsung dikasi jawaban. Misalnya ketik "Asmirandah", keluar semua hal yang berkaitan dengan Asmirandah. Sampe pembaharuan terkini soal berapa jumlah jerawatnya pun kurasa dikasi tau juga sama mesin pencari tersebut. Kalo masi zaman telegram "disini sehat disana sehat kirim uang cepat-cepat" masih ditolerir lah. Nah kalo gini, yang kurang update siapa dulu sebenarnya?

    Jadi, cobalah kita duduk lagi, kita lihat-lihat lagi diri kita di cermin. Apakah cermin mendadak retak atau tidak? itu bukan sesuatu hal yang penting, itu nasib. Tapi yang harus kita sadari adalah siapkah kita diasumsikan oleh orang lain bahwasanya kita begana dan begini? Di streotype-kan kayak gini dan kayak gitu? kalau kita tidak siap, maka JANGAN melakukan hal tersebut pula ke orang lain. Dan faktanya, kita tidak pernah siap di judge atau di hakimi. Yang nyuri sendal aja kadang berdalih "Kenapa saya yang ditangkap, kenapa koruptor gak ditangkap? Kenapa hukum hanya melibas orang-orang kecil". Itu maling loh yang ngomong kayak gitu, yang jelas-jelas ketangkap tangan nyuri sendal di mesjid. Istilahnya "Pergi Swallow Pulang Neckermann". Nah mawas diri lah, tidak ada yang perlu kita asumsikan berkaitan dengan orang lain. Asumsi itu kita pakai kalau kita ingin menangkap esensi sempurna. pada faktanya, tidak ada manusia yang sempurna, jadi, ngapain kita berasumsi ini itu tentang orang lain. Berbaik sangka saja, itu lebih baik.

    Lalu bagaimana keadaan, bukankah keadaan itu bisa jadi sempurna kan ya? boleh dong kita berasumsi tentang keadaan ?

    Well, Sometimes Sh*t happens!




      

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    About