• Bukan catatan pra-sejarah!

    Kopra kita lebih seksi dari Kopra India


    Stress masih melanda, lalu aku iseng membuka catatan-catatan lama, catatan waktu masih lucu-lucunya, ngegemesin, pengen dicubit pipinya....

    Sekarang kalo ada yang cubit pipi, kalo laki berarti ngajak beklaik, kalo cewe, diajak ibu negara beklaik...

    Beginilah catatan itu....

    Gambar Pohon Kelapa, iya, Kelapa, Bukan Kurma, dari Sini
    Air buah kelapa muda dicari karena menyegarkan. Kelapa tua dan santannya dicari untuk bahan masakan. Daun kelapa yang dianyam bisa menjadi tikar. Lidinya pun laku dijual, entah jadi tusuk sate atau sapu lidi. Lalu bagaimana batangnya? Bisa jadi jembatan, kursi darurat, atau bahkan tiang untuk rumah kita. Bahkan batoknya, iya batoknya, bisa jadi hiasan, bisa jadi centong juga. Dan, ketika pohonnya sudah habis terjual, pujangga pun menjadikannya syair, bahkan dijadikan lagu. Kaya sekali pastinya yang memiliki pohon kelapa. Dikampungku, ada banyak pohon kelapa, tapi sedikit yang kaya raya. Aku curiga, pohonnya itu terbuat dari plastik dan bertuliskan “Made In China”. (Pepno, diambil dari catatan lama)
    Aku rasa, catatan ini masih cukup relevan dengan kondisi saat ini. Masyarakat belum kaya raya, meski kiri kanan kulihat saja penuh pohon cemara kelapa. Meski lambaian pohon kelapa terlihat menggoda, menawarkan masa depan yang lebih cerah, secerah jidat Indro Warkop, sepertinya masyarakat kita tidak terpesona.

    Masyarakat kita lebih terpesona dengan kibasan rambut Raline Shah di iklan shampoo ajakan diskusi ngalor ngidul tentang amalan bid'ah bermodal artikel hasil googling, diskusi politik yang jatuh-jatuhnya jadi debat kusir (padahal ndak ada bendi, sado atau apapun yang ditarik oleh kuda yang terlibat), sampai dengan ajakan meninggikan badan atau menyulap lemak-lemak tubuh hilang sekejap mata dengan olesan salep sakti, dan membesarkan bagian tubuh yang dirasa-rasa kurang besar, hidung misalnya. Iya, yang menjadi primadona (bukan Prima dan Dona, itu teman sejerawat sejawat sayah!) adalah hal-hal yang dirasa-rasa gak begitu penting untuk dikedepankan. Tapi entahlah, itu menurutku saja. Mungkin menurut kalian lain lagi kan ya? Apalagi menurut Pak Tarno, jelas beda, karena bagi Pak Tarno semua masalah selesai dengan "Simsalabim jadi apa, prok.prok.prok."

    Kita lupa, kita belum sejahtera.

    Kembali ke Rayuan Batang Kelapa, sampai saat ini, komoditi ini masih belum dapat mengarahkan masyarakat kita menjadi Sejahtera Dunia (entahlah kalo Sejahtera Di Akhirat, aku gak tau juga, red). Menurut Kemenperin , negara kita merupakan negara pengekspor kelapa terbesar didunia. Jika penalaranku tidak salah, ini dari segi kuantitas ekspor, bukan dari ukuran fisik kelapa itu. Karena agak-agak gelik gimana gitu kalo dari ukuran bentuk kelapanya, mungkin kelapanya kurang diet, ngeGym, dan akhirnya obesitas. Tapi,sebenarnya tak ada kelapa obesitas, ditandai dengan tidak adanya gym yang menerima member untuk kelapa. Nah, udahlah kita jadi negara eksportir kelapa terbesar, masih belom kita sejahtera?

    Maka pantaslah aku menduga kalau-kalau pohon-pohon kelapa kita itu sebenarnya plastik. Mungkin pohon kelapa kita tidak menarik orang untuk mengkonsumsinya. Patut dipertanyakan kenapa masih belum kita bahagia dari kelapa, bisa jadi karena tidak ada tata kelola khusus dalam pemanfaatan kelapa secara efisien.
    Paragraf ini seolah-olah ditulis secara serius, padahal mah, seratus persen masih iseng, cuma dipakein bahasa sok ketinggian aja.

    Akhiru kalam, saat ini, kelapa masih kalah seksi dengan sawit. Tidak ada kasus lahan dibakar terbakar karena mau ditanami jutaan batang kelapa. Juga, tidak ada satupun pujangga yang memuja-muji sawit dalam sajak mereka. Yang ada, justru para lelaki memuji turunan kelapa. Turunan kelapa? Ya, Kopra namanya.

    Priyanka Kopra.

    The End.








    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    About